Jumat, 06 Mei 2011

penulis favoritku


HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH
A. Biografi
Terlahir sebagai anak seoarang ulama’ pembaharu. Selain mubaligh, aktivis, pemikir, juga seorang novelis. Tak ada kompromi bila sudah menyangkut akidah.
Lengkapnya ia bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah, orang sering menyebutnya dengan buya HAMKA, lahir di Mininjau, Sumatera Barat, Senin 16 Februari 1908, putera seorang tokoh pembaharudari Minangkabau, Doktor Haji Abdul Karim Amrullah. Nama HAMKA melekat setelah ia untuk pertama kalinya naik Haji kemekah pada Tahun 1927. 

Secara formal pendidikan yang ditempuh HAMKA tidaklah tinggi. Hanya sampai kelas 3 di sekolah desa. Lalu sekolah agama yang ia jalani di Padangpanjang dan Parabek juga tak lama, hanya selama 3 Tahun.
Selebihnya, ia belajar sendiri. Kesukaanya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab. Dari sinilah ia mengenal dunia secara lebih luas, baik hasil pemikiran klasik Arab maupun Barat. Karya para pemikir Barat ia dapatkan dari hasil terjemahan kebahasa Arab. Lewat bahasa pula HAMKA kecil suka menulis dalam bentuk apa saja. Ada puisi, cerpen, novel, tasawuf, dan artikel-artikel tentang Dakwah.
Di usia yang sangat muda HAMKA sudah melanglangbuana. Tatkala usianya masih 16 Tahun (pada Tahun 1924), ia sudah meninggalkan Minangkabau, menuju Jawa. Di Yogyakarta ia berkenalan dan menimba ilmu tentang pergerakan kepada para aktivisnya, seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto (sarekat Islam), Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah), K.H. Fakhruddin, dan RMSoerjopranoto. HAMKA bersama dengan kaum muda aktivis ikut kursus-kursus tentang pergerakan. Beberapa bulan berikutnya ia pergi ke Pekalongan dan mukim di tempatnya A.R Sutan Mansyur, tokoh Muhammadiyah Pekalongan yang juga kakak iparnya. Di sini HAMKA berkenalan lebih jauh dengan para tokoh Muhammadiyah di kota batik itu, pertengahan Tahun 1925, HAMKA kembali ke Padangpanjang dan ikut mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumah ayahnya.
Dua tahun setelah kembalinya dari Jawa, HAMKA pergi ke Mekah untuk menunaikan jbadah Haji. Kesempatan ibadah Haji itu ia manfaatkan untuk memperluas pergaulan dan bekerja. Selama enam bulan ia bekerja di percetakan di Mekah, pulang dari Mekah pada akhir tahun 1927. Ketika di adakan mu’tamar Muhammadiyah di Solo tahun 1928 ia menjadi peserta, Muktamar ini menjadikannya sebagai titik pijak untuk berkhidmat di Muhammadiyah, dari keaktifannya di Muhammadiyah tersebut ternyata telah mengantarkannya ke berbagai daerah, termasuk ke Medan, tahun 1936. Di Medan inilah peran HAMKA sebagai intelektual ulama dan ulama intelektual mulai terbentuk. Hal tersebut bisa kita jumpai dari kesaksian Rusydi HAMKA salah seorang puteranya.
“bagi Buya, Medan adalah sebuah kota yang penuh kenang-kenangan. Dari kota ini ia mulai melangkahkan kakinya menjadi seorang pengarang yang melahirkan sejumlah novel dan buku-buku agama, falsafah, tasawuf, dan lain-lain. Di sini pula ia memperoleh sukses sebagai wartawan dangan Pedoman Masyarakat. Tapi di sini pula ia mengalami kejatuhan yang amat menyakitkan, hingga bekas-bekas luka yang membuat dia meninggalkan kaota ini menjdi salah satu pupuk yang menumbuhkan pribadinya dibelakang hari.”
Di Medan HAMKA memang bisa optimal mengaktualisasikan dirinya, melalui Pedaman Masyarakat, ia punya modal yang dibutuhkan oleh seorang intelektual dan ulama sekaligus. I SEORng mubaligh, ahli agama, sastrawan, sekaligus wartawan. Di medan pula ia berkenalan dengan beragam pemikiran di dunia, inilah modal yang mendukungnya. Dengan modal ini pula ia bisa menulis apa saja, mulai dari pemukiran, falsafah, sampai dengan berita-berita kunjungan ke daerah.
Tapi, nasib seorang anak manusia memang bukan dia yang menetukan. Ketika Jepang datang, kondisinya jadi lain. Pedoman Masyarakat dibredel, aktivitas masyarakat diawasi, dan bendera merah putih dilarang dikibarkan. Masyarakat medan kecewa berat dengan Jepang. Tapi pada saat yang bersamaan jepang berhasil merangkul HAMKA dengan cara mengangkatnya menjadi “Syu Sangi Kai” atau dewan perwakilan rakyat pada tahun 1944. Dan ketika Jepang kalah lalu menyerah pada sekutu, HAMKApun menjadi sasaran kritik yang tak berkesudahan. Inilah yang menyebabkan HAMKA keluar dari Medan, menuju Sumatera barat.
Suratan takdir tampaknya tak membuat HAMKA surut dari perjuangan. Ia tetap aktif menggalang kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan, sekaligus tetap menjadi juru dakwah. Pada tahun 1950, ia pindah ke Jakarta dan menekuni dua profesi, sebagai ulama sekaligus seorang pujangga. Pada pemilu tahun 1955, HAMKA terpilih sebagai anggota parlemen dari Masyumi mewakili unsur Muhammadiyah.
Setelah presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit tahun 1959, HAMKA kembali ke habitatnya semula, dengan tetap berdakwah di medan perjuangan melawan kediktatoran Soekarno.
MASJID AGUNG AL-AZHAR
Letaknya di Kebayoran baru, di tepi jalan raya, bermula dari adanya usaha dari Masyumi Jakarta raya mendirikan Yayasan Pesantren Islam (YPI) yang bertujuan untuk memberikan pendidikan agama buat anak-anak, semacam pesantren moderen. Gagasan tersebut didukung oleh Menteri Sosial, Dr Syamsuddin Tahun 1951. Tapi realisasi baru menemuka titik cerah setelah Syamsurizal, Walikkota Jakarta, menghibahkan tanah seluas 4 hektar, tahun 1952, menteri Agama KH Wahid Hasyim juga menyumbang 2.500.000. untuk mewujudkan cita-cita tersebut, phak yayasan mengutus Ghazali Sahlan dan Abdullah Salim untuk mencari figu yang cocok mengemban amanah tersebut. Maka HAMKA yang waktu itu tainggal Jalan Toa Hong II, Sawahbesar, adalah figur yang mereka dekati.
Kepada kedua orang utusan tersebut, HAMKA menyatakan kesediaanya, bila sarannya diikuti. Yakni, yang pertamadibangun adalah masjid, perkantoran,aula,dan ruang-ruang belajar. Dengan adanya masjid dan ruang-ruang tersebut, menurut HAMKA, ia akan berfungsi sosial pendidikan sekaligus. Usulan ini diterima secara aklamasi oleh pengurus yayasan. Maka HAMKA pun pindah dari Jalan Tong Hong II ke Jalan Raden Patah III No 1, sebelah utara lahan dimana masjid Al Azhar dibangun. Setelah selesai masjid tersebut diberi nama Masjid Agung Kebayoran Baru, yang tidak bermadzhab, menempung segala lapisan masyarakat, dari masyarakat Betawi yang konservatif sampai dengan masyrakat gedongan dengan segala paersoalannya.
Pada tahun 1960, ketika Rektor Universitas Al Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut berkunjung ke Jakarta, ia memberi nama masjid tersebut dangan Al Azhar. HAMKA sendiri pada tahu 1958 mendapat gelar doktor kehormatan dari universitas paling bergengsi di Timur Tengah ini. Dalam perkembangannya, Al Azhar adalah pelopor sistem pendidikan Islam moderen yang punya cabang diberbagai kota dan daerah, serta menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah moderen berbasis Islam. Dari Masjid Al Azhar ini pula lahir Majala Panji Masyarakat yang di zaman orde lama sempat di bredel dan Gema Islam.
Al Azhar dan HAMKA tidak bisa dipisahkan. Lewat mimbar Al Azhar HAMKA melancarkan kritik-kritiknya terhadap demokrasi terpimpin yang sedang digalakkan oleh Soekarno pasca Dekrit presiden tahun 1959. Karena dianggap berbahaya, HAMKA pun dipenjarakan oleh Soekarno pada Tahun 1964. Ia baru dibebaskan setelah Soekarno runtuh dan orde baru lahir, tahun1967. Tapi, selama di penjara itu HAMKA berhasil menyelesaikan sebuah karya monumental, Tafsir Al Azhar 30 juz.
PENDIDIK UMAT
Sosok HAMKA adalah multi peran. Selain sebagai ulama dan pujangga, ia juga seorang pemikir. Diantara buah pikirannya adlah gagasan tentang pndidikan. Bagi HAMKA, pendidikan adalah sarana untuk mendidik watak pribadi-pribadi. Kelahiran manusia di dunia ini tidak hanya untuk mengenal apa yang dimaksud baik dan buruk, tapi juga selain beribadah kepada Allah, juga berguna bagi sesama dan alam lingkungannya.
Karena itu bagaimanapun kehebatan sistem pendidikan moderen, menueut HAMKA, tak bisa dilepas begitu saja tanpa diimbangi dengan pendidikan agama. Ia adalah salah satu dari pemikir pendidikan yang mendorong pendidikan agama masuk dalam kurikulum sekolah. Bahkan HAMKA lebih maju lagi, ia menyarankan agar ada asrama-asrama yang menampung anak sekolah. Dalam asrama tersebut anak-anak tak hanya mendapat pemondokan dan logistik, tapi juga penuh dengan muatan rohani dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pengalaman HAMKA, pendidikan di sekolah tak bisa lepas dari pendidikan di rumah. Karena menurutnya mesti ada komunikasi antara sekolah dengan rumah, antara orang tua muarid dengan guru. Secara konvensional, antara orang tua murid dengan guru saling bersilaturahmi, sekaligus mendiskusikan tentang perkembangan anak didiknya. Dan masjid adalah sarana untuk pertemuan tersebut, dengan adanya shalat jama’ah di masjid, antara orang tua, guru, dan murid bisa saling berkomunikasi secara langsung. “kalaulah rumahnya berjauhan akan bertemu di hari jumat”, begitu tutur HAMKA, pemikiran HAMKA diatas akan bisa berjalan secara efektif di daerah-daerah pedesaan dimana mobilitas warganya belum begitu tinggi. Bagaimana kalau di perkotaan, selain mobilitas tinggi juga jarak yang jauh? Di daerah moderen ini tetap ada sekolah-sekalah yang tetap menjaga semangat keutamaan yang digagaskan oleh HAMKA tersebut. Dengan menggunakan teknologi komunikasi yang berupa telepon dan internet, komunikasi orang tua dan murid akan terwujud dengan baik.
MUI
Ketika Majlis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada 27 Juli 1975, HAMKA adalah ketua umum yang pertama. Jabatan ini dipegangnya sampai ia mnegundurkan diri pada 18 Mei 1981. Ketika ia menyampajkan pidato saat pelantikan diarinya, HAMKA menyatakan bahwa dirinya bukanlah sebaik-baiknya ulama. Ia sangat menyadari bahwa dirainya memang populer, karena sejak usia muda sudah bertabligh, menulis, memimpin majalah Panji Masyarakat, dan menjadi imam besar Masjid Al Azhar Jakarta yang terkenal itu. Selain itu suaranya yang serak-serak basah bisa didengar di radio dan di mimbar-mimbar. “Tapi kepopuleran bukanlah menunjukkan bahwa saya yang lebih patut.” Tutrnya dengan lembut.
Dalam pandangan HAMKA, ditanah air ini masih banyak ulama yang lebih tinggi ilmunya, lebih khusyuk ibadahnya, tapi mereka ini tak masuk dalam kepengurusan MUI.”berpuluh bahkan beratus agaknya yang benar-benar ulama yang tidakmau tertonjol atau menonjolkan diri. Dan tidak hadir dalam majelis ini, dan bahkan bersyukur karena mereka tidak mendapat panggilan buat hadir. Orang-orang seperti itu jarang tampil dan menonjol. Sebab ingin Uzlah dari pergaulan yang penuh dengan fitnah ini.”
Di Institusi MUI terbyata bukanlah sesuatu yang ringan. Menyandang gelar ulama bukanlah hal yang enteng, HAMKA menggambarkan secara baik tentang para ulama yang duduk di MUI, ibarat kue bika. Ulama menueutnya, terletak di tengah-tengah laksan kue bika yang sedang dimasak dalam periuk belanga. Dari bawah dinyalakan api dari atas dihimpit pula dengan api. Api dari bawah berupa keluhan dan harapan masyrakat, sedangkan api dari atas adalah keinginan-keingina pemerintah. Jika berat ke atas maka putuslah dengan bawah, dan ini mengandung konsekuensi menjdi ulama yang tidak didukung oleh rakyat. Sedangkan bila berat ke bawah, maka hilanglah hubungan dangan pemerintah, dan para pejabat bisa saja mengecapnya tidak mau berpartisipasi dalam pembanguna. Padahal, MUI punya niatan suci, yakni mempertemukan dan menyerasikan antara rakyat dengan pemerintah.
Ibarat kue itu tebukti ketika pada 7 maret 1981, MUI mengeluarkan fatwa tentang Natal. Yakni, orang muslim haram menghadiri acara natal yang diselenggarakan kaum Kristen. Fatwa ini lahir disebabkan banyaknya umat yang secara sukarela, terpaksa, atau demi kerukunan, akhirnya mengikuti perayaan natal. Parayaan Natal ini diselenggarakan di kantor-kantor, dan sekolah-sekolah atau komplek prumahan. MUI merasa perlu melindungi umat Islam. Maka berdasarkan dali-dalil alQuran dan hadits yang kuat, MUI memutuskan haram bagi umat Islam menghadiri Natal bersama.
Tentu saja, fatwa MUI tersebut menimbulkan banyak kontroversi, bagi kalangan Islam mayoritas setuju dengan fatwa tersebut. Sebaliknya bagi kalangan kristen, memandang bahwa fatwa tersebut tidak mendukung upaya-upaya kerukunan antara umat beragama, Alamsyah Retuper wiranegara, juga merasa keberatan. Alasannya fatwa tersebut akan merenggangkan hubungan antar umat beragama yang selama ini sedang dirajut oleh berbagai pihak. Alamsyah meminta agar fatwa tersebut dicabut. Bahkan Alamsyah sampai mengancam, ia akan mundur sebagai menteri agama bila fatwa tersebut tak dicabut. Tapi MUI, di bawah kepemimpinan HAMKA tetap bersiteguh dan tetap mempertahankannya. HAMKA lebih sigap, ia memilih mundur dari MUI daripada mengikuti kemauan pemerintah yang bertentangan dengan hati nurani dan aqidahnya itu,
Mundurnya HAMKA dari MUI ternyata mengundang simpati masyarakat muslim pada umumnya. Bahkan ia mendapat pujian dan ucapan selamat dari berbagai kalangan umat Islam. Kepada seorang sahabatnya, M Yunan Nasution, HAMKA bercerita, “waktu saya diangkat dulu tidak ada ucapan selamat, tapi setelah saya berhenti, saya menerima ratusan telegram dan surat-surat yang isinya mengucapkan selamat,”
Sembilan pekan setelah mundur dari MUI, tepatnya pada hari Jumat 24 Juli 1981, HAMKA dipanggil Ilahi untuk selamanya. Ia wafat dalam keadaan khusnul khatimah.
B. HAMKA dimata hati umat
a. Dr. H. Ibnu Sutowo
tidaklah mudah bagi saya yang awam dalam pengetahua agama membicarakan buya HAMKA sebagai agamawan. Bukan saja karena kurangnya ilmu pengetahuan agama, tetapi juga disebabkan karena saya tidak mengenal lebih banyak tentang diri almarhum.
Kemungkinan orang mengetahui, ada hubungan amal antara saya dengan buya di dalam Perguruan Tinggi Ilmu Al quran (PTIQ), yang mempelajari dan menyelidiki secara mendalam akan ilmu-ilmu Al qur’an. Saya duduk sebagai ketua Badan Pendiri dari Yayasan Pendidikan Al qur’an (YPA) yang mensponsori perguruan tinggi tersebut, sedang Buya adalah sebagai Ketua Dewan Kuratornya, karena hubungan amal diantara kami itulah diharapkan bahwa saya lebih banyak mengetahui lebih banyak tentang almarhum sebagai agamawan.
Untuk memenuhi pengharapan yang didasarkan pada maksud yang baik, saya mencoba menulis ilmu pengetahuan yang ada untuk menjangkau kedudukan beliau yang tinggi di dalam persoalan keagamaan itu. Sekurang-kurangnya saya sudah dapat menyumbangkan setetes air ke tengah lautan keahlian Buya Hamka sebagai seorang agamawan.
Pandangan luas Buya Hamka dalam soal keagamaan
Salah satu daya tarik yang paling besar dari Buya ialah di dalam memberikan penilaian dan penghargaan kepada amal-amal agama, dengan menampilkan rahasia-rahasia baik yang terselubung dari orang banyak. Misalnya dalam membicarakan soal ratib-ratib dan dikir dengan suara keras yang dilakukan oleh kaum betawi yang menjadi penduduk asli Jakarta. Dengan susunan kata yang indah dan berirama beliau menceritakan penderitaan pahit yang mereka lalui selama tiga setengah abad dijajah Belanda, kaum Betawi melawannya dengan cara berlebih-lebihan. Buya menulis: “...tempat-tempat yang penting untuk kekuasaan, semua sudah diduduki Belanda. Sekitar kali Ciliwung, dari pangkal sampai ke ujung dipunyai orang-orang Cina, sedangkan rumah-rumah orang Jakarta Jakarta yang terdiri dari dinding bambu anyaman dan atap rumbia ditempat yang becek.
Namun, apabila waktu subuh telah masuk fajarpun telah mulai menyingsing, kedengaranlah sayup-sayup sampai ari lorong-lorong kampung yang becek itu suara adzan mendayu-dayu, dengan berangsur-angsur keluarlah orang kampung dari bedengnya masing-masing shalat berjema’ah dengan mengemukakan yang tua untuk menjadi imam.
Sesudah sembahyang, mereka pun tertib la ilaha illallah! Dengan suara keras dan berulang-ulang , sampai ada yang majzub, yaitu hilang kesadaran diri lantaran ingat akan Allah, dan lantaran berdzikir itu bersama-sama dengan suara keras maka, anak Jakarta berdzikir keras, la ilaha illah....sebab itu mereka tetap ada, langit boleh memecah, bumi boleh bergulung, dunia bisa berubah, tetapi orang Jakarta tetap berkeyakinan tidak ada tuhan selain Allah”.
Buya menceritakan ini sambil moenegaskan pendirian nya bahwa beliau sejak kecil sebagai “kaum muda” yang tidak mengerjakan tahlil dengan cara demikian.  Sungguhpun begitu beliau yang mempunyai pandangan luas berkata: “ sejak itu, kalau di zaman merdeka ini saya masih mendengar ratib keras bersama-sama, saya tidak lagi marah menepuk dada mengatakan ‘ saya kaum muda sejati’. Sebagai kaum muda, saya tidak mengerjakan demikian, namun sebagai peminat sejarah, saya menghormati orang berdzikir demikian di tengah-tengah kota Jakarta”.
Demikianlah Buya Hamka yang agamawan mempunyai pendirian teguh, tetapi dapat menilai amal-amal kaum Betawi yang melawan di dalam hatinya akan penjajah Belanda dengan ratib bersuara keras: “karena kalau diperas sampai rudin mereka pergi tolak bala, ratib keras-keras sampai pingsan, sampai fana, untuk menjelaskan kepada dunia bahwa mereka masih Islam...” betapa besar pengaruh Islam bagi kaum Betawi, Buya menceritakan: “ cerita nyai Dasima yang telah bersuami orang Belanda karena panggilan nasib masih merintih dalam hatinya menyesali nasib itu. Hanya dengan membangkit-bangkitkan semangat keagamaan kembali, hanya dengan itu ia dapat dibujuk untuk dapat membinasakan Belanda yang memeliharanya. Maka badannya yang telah penuh dengan emas kemegahan istri tuan besar, habis sirna kembali mendengar rayuan agama”. Di sini kita menyaksikan betapa pandainya Buya Hamka mengemukakan semangat keagamaan pada kaum Betawi, penduduk asli Jakarta..
Tidak hanya sampai di situ, Buya juga memeprkataan keistimewaan anak Betawi di dalam soal mencari kemegahan dan kekayaan. Kalau segala orang, baik muslim ataupun tidak, berlomba mencari megah di dalam kekayaan materi atau pangkat duniawi, meninggalkan daerah asalnya menepuh daerah-daerah yang jauh, tetapi anak Betawi han yang mempunyai kemegahan yang lain sama sekali. Mereka berduyun-duyun naik haji ke tanah suci mekah, mencari kemegahan dengan mengabdikan diri di tanah suci itu.
Buya menceritakan: “ saya teringat ketika perjanjian penyerahan Raja Ali anak Raja Husein, Raja negeri mekah yang diserang oleh Raja Ibnu Su’ud di tahun 1925, ketika kota Jedah sudah dikepung lama sekali, akhirnya Rja Ali mengaku kalah dan diadakan dengan delegasi pendamai kedua belah pihak. Setengah dari pada syarat-syarat yang di dikemukakan Raja Ali, ialah supaya beberapa orang besar dan ternama yang hidup bertalian erat dengan baginda dibebaskan dan mendapat perlindungan. Di antaranya ialah beberapa nama yang diujung nama itu disebut betawi. Syeh Abdullah Betawi, Syekh Ahmad Betawi, Syekh Said Betawi. Ketueunan keluarga Betawi itu masih ada sampai sekarang dalam perlindungan dalam kerajaan Arabia, baik di Mekah ataupun di Jedah”. Sesungguhnya Hamka sebagai agamawan dapat mengasikkan semua pembaca dengan gaya bahasanya yang indah, menarik, dengan segala pendengar, dengan ucapan dan susunan kata yang memikat hati.
Dari keluarga yang taat beragama
Tiga puluh tahun lamapau, Buya pernah mengarangkan buku biografinya, yaitu pada tahun 1951. dengan judul kenang-kenagan hidup, buku itu sudah dicetak ulang ketiga pada tahun 1974. beliau menceritakan sewaktu sudah kembali dari menunaikan haji pada tahun 1927, bagaimana gelar haji yang diterimanya adalah lanjutan dari gelar yang diterima nenek-nenek sampai ayahandanya.
b. K. H. A. Syaikhu
kalau saya amati berbagai corak kepemimpinan yang dijalankan seorang tokoh baik yang formal ataupun non formal, bertaraf nasional maupun internasional, namapak jelas adanya nilai-nilai spesifik mewarnainya. Yang saya maksud adalah, tipe asli dari dari wajah kepemimpinan sang tokoh tersebut. Masalah ini akan semakin menarik seandainya kita mau menyelami lebih dalam lagi kedalam lautan perjuangan, dimasa sang tokoh terlibat di dalamnya.
Berhasil tidaknya kepemimpinan seseorang tidaklah semata-mata ditentukan oleh skill dan kadar intelektualnya. Masih ada faktor lain yang menentukan, yaitu adanya kebijaksanaan dan kearifan, dari orang berpredikat pemimpin tadi. Kemudian diwujudkan dari pola sikap yang menumbuhkan suasana menunggal antara pemimpin dengan masyarakat yang dipimpinnya. Sekalipun ungkapan ini bukan merupakan suatu patokan yang mutlak dan eksak, setidak-tidaknya dapat dijadikan suatu baraomater untuk meneropong integritas seseorang tokoh atau pemimpin.
Dari kriteria ini saya mencoba membuat ancang-ancang untuk sampai pada penilaian terhadap kepemimipinan Hamka.
Sehingga jangan sampai timbul kesan bahwa apa yang saya kemukakan terlalu jual murah dan bombastis, sebab, kalau sekedar melontarkan pujian dan sanjungan, tanpa alsan yang rasional, siapapun akan mudah melakukannya.
Kembali pada soal kepemimpinan. Sejak dulu hingga kini, di Barat maupun di Timur, di Utara atau di Selatan, masalah kepemimpinan menurut saya senantiasa ada dua wajah. Seandainya ada yang berpendapat lain itu menjadi hak mereka.
Seseorang yang mepunyai kedudukan penting dan jabatan tinggi dalam pemerintahan, atau menjadi tokoh teratas dari sesuatu organisasi, menurut hemat saya, orang tersebut belum tentu secara otomatis dapat dikategorikan sebagai “pemimpin”. Sebab kepadanya masih perlu dipertanyakan, apakah mereka termasuk orang yang “ditokohkan” atau didudukkan dari atas, ataukah karena memanjat dari anak tangga yang paling bawah. Pertanyaan ini pun masih belum cukup. Masih ada satu lagi, yaitu: apakah mereka menunggal dengan masyarakat yang dipimpinnya atau tidak.
Kita agaknya tidak usah malu-malu untuk mengakui kenyataan, tidak sedikit adanya penyimpangan terhadap nilai-nilai keoemimpinan, yang mungkin bagi kalangan awam masih terlalu kabur. Yang saya maksudkan ialah, ada sementara orang yang di dadanya tersemat tittel “tokoh” atau “pemimpin” tetapi nyatanya tidak lebih ibarat pohon berakar gantung: kedudukannya bukanlah terpancang dari akar yang menghujam kepetala bumi, tetapi lebih ditemukan oleh iklim yang ada di atas. Karenanya tidak perlu heran, kalau tokoh atau pemimpin macam ini sikapnya labil dan tidak punya pendirian. Kalau toh mau dikatakan juga bahwa mwrwka punya pendirian maka pendiriannya adalah selalu condong ke mana arah angin bertiup. Juga jangan heran, kalau pemimpin macam ini, lebih suka membawa pesan dari atas, dari pada menyuarakan aspirasi umat. Mungkin saja ditinjau dari segi skill dan intelekyual mereka cukup berbobot. Tetapi bobot kepemimpinannya itu nayris tidak berarti, karena tidak ditunjang oleh akar kemanunjangan denagn masyarakat bawah yang dipimpinnya.atau boleh jadi kepemimpinannya itu, dimulai dari anak tangga yang paling bawah. Terhadap kelompok inipun masih harus diajukan pertanyakan lagi: apakah ia tetap konsisiten dengan jalur perjuangannya setelah ia berada di atas? Sama sekali saya tidak bermaksud mengada-nagda, apabila saya katakan bahwa adakalanya seseorang bersungguh-sungguh meniti tahapan anak tangga perjuangan, satu demi satu dilalui dengan bersemangat, hingga sampai pada anak tangga yang paling atas. Tetapi setelah samapai di atas, ia hanya memberikan punggungnya saja pada anak-anak tangga yang dahulunya sangat berjasa menjadi tumpuan pijakan, jangankan mengulurkan tangan kasih sayang, menengok ke bawahpun tidak. Garis perjuangan sudah di lupakan. Rasa tanggung jawabnya terhadap ummta rapuh dan luntur. Meskipun harus diakui terlalu sulit mencari pemimpin yang selalu konsisiten dan konsekuen dalam pendirian dan sikap. Tetapi bukan berarti tidak ada, sekalipun memang hanya sedikit jumlahnya.
Seorang pemimpin barulah pantas disebut pemimpin, kalau jiwanya sudah menunggal dengan masyarakat, disamping memiliki keberanian untuk mengatakan bahwa hitam itu “hitam”, dan putih itu “putih”, apapun rid=sikonya. Inilah sikap pemimpin sejati. Dan saya berani mengatakan secara terus terang, Hamka termasuk dalam kelompok ini.
Sebagai seorang pemimpin, integritas Hamka tidak perlu diragukan lagi, adapun Hamka sebagai politisi saya tidak melihat adanya sesutu yang iistimewa. Bahkan kalau boleh saya katakan, keterlibatan Hamka dalam bidang politik opraktis, sama seklai kurang menonjol.
Memang dulunya Hamka pernah duduk di Dewan Konstituante, tetapi kehadirannya dalam dewan tersebut, kurang menarik untuk diamati. Bagaimana mungkin kita akan mengamati politik Hsmks, kalau nyatanya ia sendiri tidak menaruh perhatian serius terhadap politik. Hal ini si akuinya pada saat memberikan ceramah di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Dalam suatu simposium Budaya Islam yang diselenggarakan oleh Pnitia nasional menyambut datangnya abad ke 15  Hijriyah, katanya:
Lapangan siasat bukan medanku
Aku dikenal sebagai seorang pujangga
Yang bersayap terbanglah laju
Aku kan tetap pahlawan pena
Itulah wajah Hamka, yang menurut dirinya pernah terbakar dalam kancah politik, sehingga sampai akhir hayatnya, masyarakat mengenal Hamka bukan sebagai politisi, tetapi lebih dikenal sebagai Ulama dan pujangga.
Kendati demikian, sedikit menyimpang dari pendapat umum, saya masih punya penilaian lain terhadap Hamka dalam hubungannya dengan politik praktis.
Sebagai seorang ulama, di mana secara khusus berkesinambungan melakukan dakwah Islamiah, menulis, memberikan ceramah dan penerangan kepada masyarakat tentang ajaran-ajaran Islam secara meluas; maupun sebagai pujangga, yang dengan ketajaman penanya menuangkan pemikiran- pemikiran konstruktif (seratus lebih judul buku yang telah ditulisnya ini, teristimewa Tafsir Al-Azhar-nya), maka jika melihat kenyataan ini, rasanya saya terlalu sulit pula menyatakan , bahwa Hamka tidak berpolitik, sebab ajaran Islam yang merupakan materi poko pelaksanaan dakwah, merupakan ajaran yang mengandung nilai universal dan semesta, dimana di dalamnya tercakup semua maslah tentang berbagai aspek kehidupan.
Islam tidak sekedar mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (makhluk dan Khaliknya) yang bersifat ritual on sich,, tetapi juga mengatur tata kehidupan masyarakat secara meluas dengan segala seginya, seperti bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.
Dengan demikian, maka setiap juru dakwah, teristimewa yang berpredikat ulama seperti halnya Hmaka, diucapkan atau tidak, secara tersirat jelas berpolotik. Sama halnya seseorang yang diam seribu basa, tidak mengeluarkan pendapat walau hanya satu kalimat terhadap suatu subyek dalam masyarakat, bukan berarti tidak mempunyai sikap. Sebab “diam” itu sendiri sudah merupakan sikap.
Dalam hubungan ini saya teringat akan pendapat teman seperjuangan saya, K. H. A. Ghazali katanya, kalau ada orang yang menyatakan ulama tidak bisa berpolotik, itu tandanya politiknya para ulama sangat tinggi, sehingga tidak diketahui oleh orang banyak. Sama halnya dengan intel. Kata Kiyai Ghazali selanjutnya, seorang intel yang baik ialah apabila semua orang tidak tahu bahwa dia itu intel, sekalipun istrinya sendiri.
Mungkin apa yang dikemukakan teman saya tadi ada benarnya, sehingga tidaklah berlebihan jiak saya mengatakan bahwa Hamka sebagai ulama dan pujangga, juga berpolotik sekalipun tidakk secara langsung pada kegiatan yang bersifat praktis.
C. Mata pelajaran tasawuf di PTAIN
Kita mempelajari perkembangan tasawuf sejak awal tumbuhnya di Zaman Nabi dan perkembangan gerak tasawuf di Indonesia, pelajaran ini objektif, tetapi subyektif juga. Dalam mempelajari soalnya, diri yang mengajarkan terutama; demikian juga diri yang mempelajarinya, sadar atau tidak sadar, terpengaruh oleh yang diselidikinya. Hidupnya menjadi sederhana, dan dia menjadi seorang yang zuhud.
Dan saya sendiri menyaksikan, seorang yang berpuluh tahun pula menumpahkan perhatian dan men-studi tasawuf yaitu Prof. Louis Massignon, telah dua kali saya berjumpa beliau, pertama di Chicago di tahun 1952 kedua di Lhore di bulan Januari 1958. pada kedua pertemuan itu saya lihat bahwa benar-benar ilmu ini mempengaruhi jiwanya, yaitu: “La yamliku syaian, wa la yamlikuhu syaiun” (tidak mempunyai apa-apa, dan tidak dipunyai apa-apa).
Benda dan kemegahan dunia tidaklah dapat menguasai hati seseorang shufi. Kekayaannya adalah ilmu dan ma’rifat yang didapatnya.
Maka maksud utama dari pelajaran ini, yang pertama ialah mengetahuinya, supaya dapat pula mengetahui jiwa bangsa dan dasar berfikir bangsa, terutama ummat Islam. Karena apabila telah diketahui, terbukalah kesempatan buat hidup si tengah-tengah mereka. Dan membawa mwreka kepada pokok pangkal Tasauf yang sebenarnya, kembali kepada tauhid yaitu bahwa Tuhan hanya satu, yang lain alam semua bukan wihdatul wujud, yang bereti segala yang wujud adalah satu: dan itulah Tuhan! BUKAN ITU!
Menundukkan jiwa hanya semata kepada Allah, tidak kepada guru dan dan tidak kepda benda benda  dab berhala dan tidak kepada kubur. Cinta kepada ilahi demikian mendalamnya, sehingga terkadang terasalah bahwa diri ini tidak ada artinya, kalau tidak dileburkan kehendak Allah.
فَأَيْقَنْتُ أنَّ الفَناَ في الأنا وَبَقائي فَنائي بِكَ
“maka yakinlah saya bahwa saya akan hilang tiada arti selama saya masih merasa SAYA; dan saya akan kekal selamanya, apabila saya leburkan SAYA-ku kedalam ENGKAU!”
Bukan bersatu dengan Allah sebab zat Allah lain dan zat kita lain, melainkan bersatu dengan seisi alam, dengan seluruh prikemanusiaan, sebab zat saya dengat zat seluruh yang ada ini, satu belaka. Terjadi atas kehendak Allah, bersatu dan kembali ke jalan yang di tentukan Allah, buat pulang kepada-Nya.
Mengisi pribadi dengan sifat-sifat yang ada pada Tuhan yakni sifat-Nya yang dapat kita jadikan sifat kita, menurut kesanggupan yang ada pada kita.
الإتصاف بصفة الرحمن على طاقة البشرية
“bertasauf tetapi bukan menolak hidup. Bertasauf lalu melebatkan diri ke dalam gelanggang masyarakat.
Semoga dia menjadi ilmu kita!
Semoga dia menjadi amal kita!
D. Relevansi pemikiran tasauf Hamka dalam kehidupan Moderen
Kehidupan modern merupakan kemestian sejarah. Ia mula-mula muncul dan terbentuk pada sekitar abad 16 M, oleh gerakan yang disebut dengan Renaissance yang dibangun diatas pondasi kebebasan mutlak bagi pemikiran dsan penelitian, sebab dari wibawa agama dan tradisi liberalisme dan otoritas rasio begitu sangat dihargai dan diagungkan. Hasilnya adalah penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi prasyarat bagi terwujudnya kehidupan moderen sperti sekarang ini.
Dalam salah satu bagian sub bab telah dituliskan bahwa tasauf sungguh sangat diperlukan dalam kehidupan moderen ini, jika saja kejidupan dimaksudkan sebagai kehidupan yang mampu membahagiakan manusia baik lahir maupun batin namun karena pemikiran tasauf itu sangat bervariasi dan bahkan dikatakan bahwa hamper setiap sufi besar mempunyai cara yang berbsda antara satu dengna yang lain. Maka persoalannya adalah tasauf yang bagaimana yang relevan dengan kehidupan moderen seperti sekarang ini. Apakah pemikiran-pemikiran tasauf Hamka sebagaimana yang telah diuraikan relevan atau tidak dengan kehidupan moderen, itulah pertanyaan yang ingin diberikan jawabannya dalam bahasan ini.
Secara umum, barangkali tidak banyak orang yang masih meragukan tentang betapa penting peranan agama dalam konteks kehidupan moderen ini, dari sudut pandang ini minimal sebagai penyambung rohaniah sebaai akibat dari capaian kemajuan hidup pada segala bidang dala kehidupan moderen. Di samping sebagai salah satu unsur peredam daya rusak manusia akibat nafsu yang dimiliki oleh orang perorang, sungguhpun demikian sebagaimana telah dijelaskan dalam pengertian Ihsan justru yang sangat menentukan adalah potensi esensial yang terkandung dalam agama itulah yang menetukan daya peran agama bagi manusia, dimana dan kapan saja. Potensi esensial agama ynag dimaksud adalah dapat menciptakan rasa keterbukaan dengan yang diyakini sebagai Tuhan adalah sebuah bentuk perjalanan yang mencerahkan batin.
John Naisabitt, seorang futurology berbangsa Amerika, dalam bukunya yang sangat terkenal Ten New Directions For The 1990’s Megatrens 2000, menuliskan ramalannya antara lain: (1) ilmu pengetahuan dan teknologi tidak memberi tahu kita apa arti kehidupan, kita mempelajarinya melalui sastra seni dan spiritualitas, (2) spiritualitas, ya agama terorganisasi tidak menurut hemat penulis, pernyataan agama terorganisasi di sini dipahami sebagai aturan-aturan lahir yang disebut juga dengan bagian eksoterik dari agama, sedangkan yang dimaksud dengan spiritualitas adalah bagian eksoterik, merupakan bagian batin yang sangat pokok dalam agama, yang sering juga disebut dengan tasauf.
Meskipun demikian, untuk menjelaskan betapa pentingnya peranan agama di tengah-tengah kehidupan masyarakat moderen, yang menurut perjalana sejarah tampak lebih cenderung kepada paham skularisme, terlebih menjelaskannya dengan tanpa ada unsure apologi, maka hal itu seperti bukanlah perkara mudah.
Dalam pada itu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tanpa diragukan lagi telah membawa kepada kemakmuran materi yang sedemikian rupa dengan perangkat materi yang serba mekanis dan otomstis. Nsmun demikian kehidupan yang hanya memberikan perhatiannya kepada materi saja itu ternyata bukanlah semakin mendekatkan manusia kepada kebahagiaan hidup, melainkan justru sebaliknya, kian mengantarkan manusia kepada rasa cemas yang berlebihan.
Senada dengan pernyataan Hosein Nasr sebagaimana yang dikutip Komaruddin Hidayat di atas ulasan-ulasan Jalaluddin Rakhmat ketika menganalisis pendapat-pendapat dari Lewis Yablonsky dalam Robopath (1972), Ashley Montagu dan Floyd Matson dalam buku mereka yang berjudul The Dhumanisasion of Man (1983) menjelaskan bahwa kecendrungan manusia dalam abad moderen ini adalah mengalami ketidak stabilan jiwa akibat teraliensi dengan cara berpikir dan cara berprilaku yang harus serba efisien, teratur, prekdiktibilitas, dan mekanis. Lalu muncullah manusia baru yang wataknya seperti robot, yang oleh Yabkonsky disebut dengan Robopath, ini digambarkan sebagai makhluk yang kejam, mudah melakukan agresi dan tanpa memiliki prasaan. Keperibadian Robopath ini ditandai dengan berperilaku otomat (kepatuhan yang kaku, kering dan emosi tidak spontan dan sangat patuh kepada otoritas). Kebudayaan Robopath yang demikian melahirkan dua unung sikap hidup yang sungguh-sungguh teragis yaitu: (1) sikap seperti mayat hidup yang gentayangan mencari mangsa dengan penuh kekejaman; (2) sikap orang yang ingin mengatasi kecemasan eksisitensial mereka (dari kehidupan nyata ini) dengan hedonisme dalam bidang hiburandan kenikmatan sensual, terutama sekali seksualitas. Akibatnya hilanglah jati dirinya, larut dalam sikap hedonistic-sensualitas sehingga lupa diri. Dalam hal ini tampaknya nilai-nilai spiritualitas seseorang yang bersangkutan memang benar-benar sudah hancur, disfungsional. Dengan demikian maka usaha memfungsikan kembali nilai-nilai spiritualitas tersebut nampaknya dapat dijadikan sebagai salah satu- untuk tidak mengatakan satu-satunya- pijakan agar manusia moderen tidak dapat mengenali serta menyadari akan arti jati dirinya.
Sementara itu, dalam kehidupan moderen dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya yang diikuti dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa di sana masih ada dan bahkan sebagian besar umat Islam berkutat dengan dengan kemunduran dengan segala bidang, sekian abad lamanya bahkan mentalnya pun ikut jatuh dan bahkan lebih diperjatuh lagi dengan konsep anti duniawi-nya sebagaimana diajarkan sebagian aliran Tariqat. Itu sebabnya dunia Islam agar dapat ikut ambil bagian dan ikut berperan dalam hiruk pikuk kemajuan kehidupan moderen ini menemukan jati dirinya pula tetapi dengan nuansa ‘ membangun’  menegaskan orientasi pandangannya ke depan dengan penuh optimisme. Untuk itu jelas dituntut dengan adanya nilai-nilai spiritualitas yang diharapkan dapat membangkitkan aktualisasi diri dalam mengahadapi kenyataan hidup duniawi yang mesti dijalani. Karena itu, yang diperlikan adalah spiritualitas yang bukan saja mampu menciptakan kasalehan individual, melainkan lebih dari pada itu, yaitu menumbuhkan semangat kesalehan saosial dan environmental.
Jika jalan pikiran di atas yang dijadikan acuan, maka dapat disimpulkan, bahwa pada kehidupan moderen, yang telah meraih sukses dalam kehisupan materi maka yangjustru dituntut dan dibutuhkan adalah pengembalian jati diri sebagai manusia yang utuh yang tidak dikuasai oleh kemajuan ilmu  dan teknologi yang telah diciptakan oleh manusia itu sendiri, dan sebaliknya bagi umat Islam yang nampaknya kurang begitu berperan dalam kehidupan moderen ini, maka yang diperlukan adalah penemuan jati dirinya sebagai umat pilihan Allah SWT. Yang dengan itu diharapkan mampu mengemban dan melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi ini.
Pada akhirnya, jika uraian di atas dihubungkan dengan tasauf, maka penulis hendak menyatakan di sini, bahwa pwmikiran tasauf Hamka sebgaimana telah diuraikan sangat relevan dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat moderen. Karena bertasauf, begitu Hamka mengatakan, tidak berarti menolak hidup. Bertasauf haruslah meleburkan diri ke glanggang masyarakat.dengan keluar dari budi pekerti tercela dan masuk pada budi pekerti yang terpuji.
E. Kritik terhadap Hamka
Penilaian Andries Teew
Mengenai Hamka beliau mangatakan bagini, “Hamka tidak dapat dianggap sebagai pengarang besar, walau dengan ukuran apa sekalipun, dari segi psikolodi roman-romannya lemah, terlalu bersifat moralis, dan plotnya sering bersifat sentimental, jika tidak dikatakan mlodramatis. Pretensinya sebagai plopor kesusasteraan Islam di Indonesia juga telah di tolak bukan saja oleh golongan Islam Indonesia tetapi juga oleh para pemimpin golongan Islam sesudah perang.” Penilaian ini dituangkan dalam bukunya yang berjudul moderen Indoensia literature I, dan terbit dalam bahsa Indonesia dengan judul Sastra Baru Indonesia. Diterbitkan oleh penerbit Nusa Indah, tahun 1980 (hlm 107). Naskah edisi Indonesia itu diusahakan oleh yayasan ilmu-ilmu social dengan izin dari Koninklijk Institut Voor Taal, Land, en Volkenkunde dan pengarangnya.

E. Hasil karya Hamka
  • Tenggelamnya Kapal Van Der Wijc
  • Di Bawah Lindungan Kaabah
  • Lembaga Budi - Perhiasan Insan Cemerlang
  • Dari Hati ke Hati: Bercakap Soal Agama, Sosial-Budaya & Politik
  • Kenang-Kenangan Hidup
  • Di Dalam Lembah Kehidupan
  • Merantau Ke Deli
  • Falsafah Hidup
  • Terusir
  • Kesepaduan Iman & Amal Salih
  • Falsafah Ketuhanan
  • Dan lain-lain















REFERENSI
Hery Mohammad, tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh pada abad 20, Jakarta press, 2006
HAMKA, Pandangan Hidup Muslim, Jakarta, Bulan Bintang, 1992
HAMKA, Pelajaran Agama Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1992
HAMKA, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1994
Sholehan, Relevansi Pemikiran Tasauf HAMKA dalam Kehidupan Moderen, Surabaya, Alpha, 2006
Tim redaksi PSH, HAMKA di Mata Hati Ummat, Jakarta, Sinar Harapan, 1984
HAMKA, Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta, Ummida, 1982






Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda